Liturgia Verbi 2025-08-01 Jumat.

Liturgia Verbi (C-I)
Hari Biasa, Pekan Biasa XVII

Jumat, 1 Agustus 2025

PW S. Alfonsus Maria de Liguori, Uskup dan Pujangga Gereja

Ujud Gereja Universal: Hidup berdampingan.
Semoga masyarakat yang anggotanya sulit untuk menghargai dan bekerja sama, tidak menyerah pada godaan konfrontasi karena alasan etnis, politik, agama, atau ideologi.

Ujud Gereja Indonesia: 80 tahun Indonesia merdeka.
Semoga bangsa Indonesia semakin bergotong-royong dan bersatu untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, hukum yang adil, serta kesejahteraan yang merata.



Bacaan Pertama
Im 23:1.4-11.15-16.27.34b-37

"Hari-hari Tuhan yang harus kalian rayakan dan kalian kuduskan."

Pembacaan dari Kitab Imamat:

Tuhan bersabda kepada Musa,
"Inilah hari-hari raya yang ditetapkan Tuhan,
hari-hari pertemuan kudus yang harus kalian maklumkan
masing-masing pada waktunya yang tetap.
Dalam bulan yang pertama, pada tanggal empat belas bulan itu,
pada waktu senja,
adalah Paskah bagi Tuhan.
Dan pada hari yang kelima belas bulan itu
adalah hari raya Roti Tidak Beragi.

Tujuh hari lamanya kalian harus makan roti yang tidak beragi.
Pada hari yang pertama kalian harus mengadakan pertemuan kudus.
Janganlah kalian melakukan sesuatu pekerjaan berat.
Kalian harus mempersembahkan kurban api-apian kepada Tuhan tujuh hari lamanya.
Pada hari yang ketujuh haruslah ada pertemuan kudus,
Janganlah kalian melakukan sesuatu pekerjaan berat."

Tuhan bersabda pula kepada Musa,
"Berbicaralah kepada orang Israel dan katakanlah kepada mereka,
'Apabila kalian sampai ke negeri
yang akan Kuberikan kepada kalian,
dan kalian menuai hasilnya,
maka kalian harus membawa seberkas hasil pertama dari penuaianmu kepada imam.
Dan imam itu harus mengunjukkan berkas itu di hadapan Tuhan,
supaya Tuhan berkenan akan kalian.
Imam harus mengunjukkannya pada hari sesudah sabat.

Kemudian kalian harus menghitung,
mulai dari hari sesudah sabat itu,
yaitu waktu kalian membawa berkas persembahan unjukan,
haruslah genap tujuh minggu.
Sampai pada hari sesudah sabat yang ketujuh
harus kalian hitung lima puluh hari.
Lalu kalian harus mempersembahkan kurban sajian yang baru kepada Tuhan.

Akan tetapi tanggal sepuluh bulan ketujuh adalah Hari Pendamaian.
Kalian harus mengadakan pertemuan kudus
dan harus merendahkan diri dengan berpuasa
dan mempersembahkan kurban api-apian kepada Tuhan.
Hari yang kelima belas bulan ketujuh itu
adalah hari raya Pondok Daun bagi Tuhan,
tujuh hari lamanya.
Pada hari yang pertama harus ada pertemuan kudus.
Janganlah kalian melakukan sesuatu pekerjaan berat.
Tujuh hari lamanya
kalian harus mempersembahkan kurban api-apian
dan pada hari yang kedelapan
kalian harus mengadakan pertemuan kudus
dan mempersembahkan kurban api-apian kepada Tuhan.
Itulah hari raya Perkumpulan.
Janganlah kalian melakukan sesuatu pekerjaan berat.

Itulah hari-hari raya yang ditetapkan Tuhan,
yang harus kalian maklumkan sebagai hari pertemuan kudus
untuk mempersembahkan kurban api-apian kepada Tuhan,
yaitu kurban bakaran dan kurban sajian,
kurban sembelihan dan kurban-kurban curahan,
setiap hari, sebanyak yang ditetapkan untuk hari itu."

Demikianlah sabda Tuhan.



Mazmur Tanggapan
Mzm 81:3-4.5-6ab.10-11ab,R:2a

Refren: Bersorak-sorailah bagi Allah, kekuatan kita.

*Angkatlah lagu, bunyikanlah rebana,
petiklah kecapi yang merdu, diiringi gambus.
Tiuplah sangkakala pada bulan baru,
pada bulan purnama, pada hari raya kita.

*Sebab begitulah ditetapkan bagi Israel,
suatu hukum dari Allah Yaku;
hal itu ditetapkan-Nya sebagai peringatan bagi Yusuf,
waktu Ia maju melawan tanah Mesir.

*Janganlah ada di antaramu allah lain,
dan janganlah engkau menyembah allah asing.
Akulah Tuhan, Allahmu,
yang menuntun engkau keluar dari tanah Mesir.



Bait Pengantar Injil
1Ptr 1:25

Sabda Tuhan tetap selama-lamanya.
Itulah sabda yang diwartakan kepadaku.



Bacaan Injil
Mat 13:54-58

"Bukankah Dia itu anak tukang kayu? 
Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?"

Inilah Injil Suci menurut Matius:

Pada suatu hari Yesus kembali ke tempat asal-Nya.
Di sana Ia mengajar orang di rumah ibadat mereka.
Orang-orang takjub dan berkata,
"Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu?
Bukankah Dia  itu anak tukang kayu?
Bukankah ibu-Nya bernama Maria
dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?
Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?"
Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.

Maka Yesus berkata kepada mereka,
"Seorang nabi dihormati di mana-mana,
kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya."
Karena ketidakpercayaan mereka itu,
maka Yesus tidak mengerjakan banyak mujizat di situ.

Demikianlah sabda Tuhan.




Renungan Injil
Dalam hal pembangunan iman, memang seringkali kita dihadapkan pada berbagai rintangan, halangan, dan tidak jarang juga dibenturkan pada situasi yang dilematis. Bahkan, ada kalanya kita justru ditolak karena iman yang kita hidupi. Hal inilah yang dialami oleh Yesus sendiri dalam Bacaan Injil hari ini.

Yesus pulang ke tempat asal-Nya dan mengajar di rumah ibadat. Banyak orang awalnya kagum, tetapi kemudian berubah menjadi sinis. Mereka berkata, "Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria?" Mereka gagal melihat siapa Yesus sebenarnya, karena mereka terlalu terpaku pada latar belakang dan asal-usul-Nya. Justru karena merasa "terlalu kenal", mereka menolak untuk percaya.

Penolakan itu bukan karena pengajaran-Nya keliru, atau karena kuasa-Nya meragukan, tetapi karena iri hati dan prasangka. Dan memang, ketika hati dipenuhi prasangka, maka kebaikan pun bisa tampak mencurigakan, dan hikmat bisa tampak sebagai ancaman. Maka, Yesus pun tidak melakukan banyak mukjizat di situ karena mereka tidak percaya.

Bacaan dari Kitab Imamat hari ini mengajarkan tentang hari-hari raya suci bagi bangsa Israel: Hari Raya Paskah, Hari Raya Tujuh Minggu, Hari Raya Pendamaian, dan Hari Raya Pondok Daun. Semua itu dimaksudkan sebagai peringatan kudus—hari-hari yang dipisahkan untuk Allah. Dalam konteks ini, kita diingatkan bahwa iman bukan hanya soal pribadi, tetapi juga tentang hidup bersama sebagai umat yang beribadah dan merayakan karya keselamatan Allah.

Kembali pada penolakan yang dialami Yesus, kita pun bisa mengalami hal serupa. Mungkin kita ditolak karena asal-usul kita, karena suku, karena latar belakang pendidikan, atau bahkan karena keberhasilan kita yang memicu iri hati orang lain. Penolakan itu menyakitkan, apalagi jika datang dari orang-orang yang dekat atau yang dahulu bersama kita.

Namun, mari kita berdiri pada posisi yang benar dalam menghadapi penolakan. Yang pertama, jangan sibuk membela diri dengan alasan-alasan atau pembenaran. Apalagi jika sampai menyerang balik atau menyalah-nyalahkan mereka yang menolak kita. Biarlah mereka hidup dengan prasangka dan keirihatian mereka, tapi kita tetap berdiri tegak dalam iman, dalam kasih, dan dalam kebenaran.

Yesus justru mengajarkan kita untuk *berdoa* bagi mereka. Ia tidak menyimpan dendam, tidak membalas dengan kebencian, tetapi tetap melanjutkan perutusan-Nya. Maka, kita pun dipanggil untuk tidak ikut-ikutan membenci orang yang membenci kita. Kalau kita membalas dengan cara yang sama, apa bedanya kita dengan mereka?

Iman yang sejati tidak berhenti karena ditolak. Iman yang matang justru bertumbuh dalam tantangan. Maka jika kita ditolak, tetaplah berdoa, tetaplah mengasihi, dan tetaplah melangkah bersama Tuhan.



Peringatan Orang Kudus
Santo Alfonsus Maria de Liguori, Uskup dan Pujangga Gereja
Alfonsus Maria de Liguori lahir di sebuah kota dekat Napoli, Italia pada tanggal 27 September 1696. Ia meninggal dunia di Nocera pada tanggal 1 Agustus 1787.
Alfonsus berasal dari sebuah keluarga bangsawan Kristen yang saleh. Orangtuanya, Joseph de Liguori dan Anna Cavalieri mendidik dia dengan baik dalam hal iman dan cara hidup Kristiani. Ayahnya berpangkat Laksamana dalam jajaran militer Kerajaan Napoli. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Alfonsus memperoleh pendidikan ala militer dengan disiplin yang keras. Sekali seminggu ia disuruh tidur di lantai tanpa alas. Maksudnya ialah agar ia terbiasa dengan pola hidup yang keras dan tidak manja.
Sejak kecil Alfonsus sudah menunjukkan bakat-bakat yang luarbiasa. Tak terbayangkan bahwa ia dalam usianya yang begitu muda, 16 tahun, sudah meraih gelar Doktor Hukum di Universitas Napoli, dengan predikat "Magna cum Laude". Karyanya sebagai seorang Sarjana Hukum dimulainya dengan menjadi advokat/pengacara. Ia selalu menang dalam setiap perkara yang dibelanya. Karena itu ia banyak mendapat tanda penghargaan dari orang-orang yang telah ditolongnya.
Pada tahun 1723 ia diminta membela satu perkara besar. Untuk itu ia berusaha keras mengumpulkan dan meneliti berbagai data tentang perkara itu. Namun keberuntungan rupanya tidak memihak dia. Karena suatu kesalahan kecil ia akhirnya dikalahkan oleh pengacara lawannya. Dengan muka pucat pasi ia beranjak meninggalkan gedung pengadilan. la mengakui lalai dalam meneliti semua data penting dari perkara itu. Ia mengalami shock berat dan selama tiga hari ia mengurung diri dalam biliknya merenungi kekalahannya.
Di satu pihak kekalahannya itu sungguh menekan batinnya tetapi di pihak lain kekalahan itu justru menjadi pintu masuk baginya untuk menjalani kehidupan bakti kepada Tuhan dan sesama. Setelah banyak berdoa dan merenung di depan Tabernakel, ia menemukan kembali ketenangan batin. Ketenangan batin itu menumbuhkan dalam hatinya suatu hasrat besar untuk menjadi seorang rohaniwan. Ketika sedang melayani orang di rumah sakit sebagaimana biasanya, ia mendengar suatu suara ajaib berkata: "Alfonsus, serahkanlah dirimu kepadaKu". Alfonsus terhentak sejenak karena suara ajaib itu terdengar begitu jelas. Lama kelamaan, ia sadar bahwa suara itu adalah suara panggilan Tuhan. Kesadaran ini mendesak dia untuk menentukan sikap tegas terhadap suara panggilan itu. la mengambil keputusan untuk menjadi seorang rohaniwan yang mengabdikan diri seutuhnya kepada Tuhan. Keputusan itu disampaikan kepada orangtuanya. Ayahnya sangat kecewa dan tidak mau lagi bertemu dengan dia. Biarapun berkeberatan menerimanya karena alasan kesehatan. Syukurlah uskup setempat meluluskan niat bekas advokat itu. Semenjak itu ia dengan tekun mempelajari teologi dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar bisa menjadi seorang imam praja yang baik. Kesungguhan persiapannya itu terutama dilatarbelakangi oleh cara hidup imam-imam masa itu yang kurang mencerminkan keluhuran martabat imamat, dan karenanya umat sering memandang rendah mereka.
Alfonsus kemudian ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1726. Imam muda ini begitu cepat terkenal di kalangan umat karena kotbahnya yang menarik dan mendalam. Selain menjadi seorang pengkotbah ulung, ia pun menjadi bapa pengakuan yang disenangi umatnya. Karyanya sejak awal kehidupannya sebagai imam diabdikannya kepada orang­orang miskin dan pemuda-pemuda gelandangan di kota Napoli. Ia berusaha mengumpulkan mereka untuk memberi pelajaran agama dan bimbingan rohani.
Pada tahun 1729, ia menjadi imam kapelan di sebuah kolese yang khusus mendidik para calon imam misionaris. Di sana ia berkenalan dengan Pater Thomas Falciola, seorang imam yang memberi inspirasi dan dorongan kepadanya untuk mendirikan sebuah institut yang baru. Kepadanya Pater Falciola menceritakan tentang para suster binaannya di Scala yang menghayati cara hidup yang keras dalam doa dan matiraga. Terdorong oleh inspirasi dan semangat yang diberikan Pater Falciola, ia kemudian mendirikan sebuah tarekat religius baru di Scala pada tanggal 9 Nopember 1732. Tarekat ini diberinya nama 'Sanctissimi Redemptoris', dan mengabdikan diri di bidang pewartaan Injil kepada orang-orang desa di pedusunan. Tanpa kenal lelah anggota-anggota tarekat ini berkotbah di alun-alun, mendengarkan pengakuan dosa dan memberikan bimbingan khusus kepada muda-mudi, pasangan suami­isteri dan anak-anak.
Pada umurnya yang sudah tua (66 tahun), ia diangkat menjadi Uskup Agata, kendatipun ia sangat ingin agar orang lain saja yang dipilih. Sebagai uskup, ia berusaha membaharui cara hidup para imamnya dan seluruh umat di keuskupannya. Selain itu, ia menulis banyak buku, di antaranya buku Teologi Moral yang terus dicetak ulang sampai abad ini. Tulisan-tulisannya sangat membantu imam-imam teristimewa dalam bidang pelayanan Sakramen Tobat. Dengannya mereka bukan saja mengemban tugas itu dengan penuh kasih sayang, melainkan juga memberikan bimbingan yang tepat kepada umat.
Karena sering jatuh sakit, ia beberapa kali meminta boleh mengundurkan diri sebagai uskup, namun permohonannya baru dikabulkan ketika ia berumur 80 tahun. Ia diperbolehkan kembali ke biara. Masa-masa terakhir hidupnya sangatlah berat karena penyakit yang dideritanya dan serangan para musuh terhadap kongregasinya. Akhirnya pada tahun 1787, ketika berusia 91 tahun, ia meninggal dunia dengan tenang di Pagani, dekat Napoli, Italia.



https://liturgia-verbi.blogspot.com/